Pendampingan Pengakuan Keberadaan MHA, Kearifan Lokal dan
Hak terkait PPLH
Perhatian terhadap pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat (MHA) sudah cukup baik. Setidaknya sudah dimuat dalam UUD 1945, Ketetapan
MPR, dan berbagai perarturan perundangan.
Perkembangan yang terjadi pada tahun 1999, mempunyai
dampak penting terhadap perhatian mengenai keberadaan masyarakat adat dan
hak-hak tradisionalnya. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 dan Undang Undang No.
41 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun
1999, cukup memberikan landasan hukum
terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hal ulayatnya.
Perkembangan berikutnya yang cukup signifikan terjadi
pada tahun 2000 ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen
terhadap Undang Undang Dasar 1945 dan berhasil memasukan masalah ”Masyarakat
Hukum Adat” ke dalam konstitusi Pasal 18B ayat (2) sebagai pasal baru dalam
konstitusi berbunyi:
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang Undang”.
Selanjutnya hal itu diatur pula dalam Pasal 28 I ayat (2)
yang berbunyi:
”Identitas budaya dan Hak Masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Pasal 18B ayat (2) termasuk dalam BAB tentang Hak-hak
Asasi Manusia, sehingga dengan demikian bilamana kita membaca bunyi Pasal 18B
ayat (2) bahwa persoalan tentang masyarakat hukum adat dan akan diatur secara
khusus dengan satu undang undang atau setidak-tidaknya akan diatur dalam Undang
Undang Pemerintah Daerah. Secara lokal diberbagai daerah telah ditetapkan
berbagai Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat dan Hak Tradisionalnya
ini.
Undang Undang terakhir yang mengatur tentang
Masyarakat Hukum Adat adalah Undang Undang No. 32 Tahun 2009 (LN Tahun 2009 No.
149) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ditetapkan pada
tanggal 3 Oktober 2009. Pasal 63 Undang Undang No. 32 Tahun 2009 mengatur
tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 63
ayat (1) huruf (t) dikatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup pemerintah bertugas dan
berwenang menetapkan kebijakan mengenai tatacara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kemudian dalam Pasal 63 ayat (2) huruf (n) ditegaskan
pula bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah
Provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Sedangkan Pasal 63 ayat
(3) huruf (k) menyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan
mengenai tatacara pengakuan dan hak ulayat masyarakat hukum yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tingkat Kabupaten/Kota.
Pasal 64 menyatakan tugas dan wewenang pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan atau
dikoordinasikan oleh Menteri. Dengan demikian ketentuan Pasal 63 dan 64 memberi
kewenangan yang cukup besar kepada Menteri Lingkungan Hidup dalam rangka
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat walaupun hanya terbatas dalam kaitan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Secara umum penetapan pengakuan keberadaan MHA,
kearifan lokal dan hak terkait PPLH di daerah masih
sangat rendah. Hanya terdapat 11 peraturan daerah atau keputusan penetapan
pengakuan, itu pun umumnya bersifat pengaturan umum. Berikut beberapa peraturan
dan keputusan di daerah dalam kaitan dengan penetapan pengakuan keberadaan MHA,
kearifan lokal dan hak terkait dengan PPLH.
1. Perda
Kab. Lebak No. 32/2001
tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
yang mengakui keberadaan Orang
Baduy dan hak ulayatnya
2. Perda Kab. Nunukan No. 03/2004 ttg Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat
3. Perda Kab. Kampar No. 12/ 1999 ttg Hak Ulayat
4. Perda Khusus Prov. Papua No. 23/ 2008 ttg Hak
Ulayat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masy Hukum Adat atas Tanah
5. Perda Prov. Sumbar No. 16/ 2008 ttg Hak Ulayat dan
Pemanfaatannya
6. Perda Prov. Kalteng No. 14/1998 ttg Kedamangan
7. Perda Prov. Kalteng No. 16/ 2008 tentang
Kelembagaan Adat Dayak Kalteng
8. Pergub Kalteng No. 13/2009 tentang Tanah Adat
9. Perda Kota Ternate No. 13/ 2009 ttg Perlindungan
Hak Adat dan Budaya Masy Adat Kesultanan Ternate
10. SK Bupati Luwu Utara No. 300/ 2004 ttg Pengakuan
Keberadaan MHA Seko
11. Keputusan
Gubernur Riau no: Kpts.468/IX/2006 tentang Penunjukan Kelompok Hutan Adat Buluh Cina di
Kab Kampar Provinsi Riau Seluas 1000 ha sebagai Kawasan Taman Wisata Alam
Komitmen yang rendah dari pemangku kepentingan,
keterbatasan sumber daya dan tidak tersedianya data dan informasi tentang
komunitas MHA di daerah menyebabkan rendahnya pengakuan tersebut. Pemerintah
dalam hal ini KLH akan melakukan fasilitasi dan pendampingan untuk mempercepat
proses penetapan pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak terkait
dengan PPLH. Lingkup pendampingan terdiri dari: inventarisasi, penyediaan data
profil komunitas MHA, pelaksanaan
pertemuan koordinasi untuk membangun komitmen pemangku kepentingan, fasilitasi
penyusunan draft Rancangan Perda, fasilitasi rapat pembahasan draft Raperda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar