Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal
Negara menghormati keberadaan dan hak masyarakat hukum adat
Rabu, 26 Agustus 2015
Selasa, 25 Agustus 2015
Penguatan Kapasitas Masyarakat Hukum Adat
Pendampingan Pengakuan Keberadaan MHA, Kearifan Lokal dan
Hak terkait PPLH
Perhatian terhadap pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat (MHA) sudah cukup baik. Setidaknya sudah dimuat dalam UUD 1945, Ketetapan
MPR, dan berbagai perarturan perundangan.
Perkembangan yang terjadi pada tahun 1999, mempunyai
dampak penting terhadap perhatian mengenai keberadaan masyarakat adat dan
hak-hak tradisionalnya. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 dan Undang Undang No.
41 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun
1999, cukup memberikan landasan hukum
terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hal ulayatnya.
Perkembangan berikutnya yang cukup signifikan terjadi
pada tahun 2000 ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen
terhadap Undang Undang Dasar 1945 dan berhasil memasukan masalah ”Masyarakat
Hukum Adat” ke dalam konstitusi Pasal 18B ayat (2) sebagai pasal baru dalam
konstitusi berbunyi:
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang Undang”.
Selanjutnya hal itu diatur pula dalam Pasal 28 I ayat (2)
yang berbunyi:
”Identitas budaya dan Hak Masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Pasal 18B ayat (2) termasuk dalam BAB tentang Hak-hak
Asasi Manusia, sehingga dengan demikian bilamana kita membaca bunyi Pasal 18B
ayat (2) bahwa persoalan tentang masyarakat hukum adat dan akan diatur secara
khusus dengan satu undang undang atau setidak-tidaknya akan diatur dalam Undang
Undang Pemerintah Daerah. Secara lokal diberbagai daerah telah ditetapkan
berbagai Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat dan Hak Tradisionalnya
ini.
Undang Undang terakhir yang mengatur tentang
Masyarakat Hukum Adat adalah Undang Undang No. 32 Tahun 2009 (LN Tahun 2009 No.
149) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ditetapkan pada
tanggal 3 Oktober 2009. Pasal 63 Undang Undang No. 32 Tahun 2009 mengatur
tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 63
ayat (1) huruf (t) dikatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup pemerintah bertugas dan
berwenang menetapkan kebijakan mengenai tatacara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kemudian dalam Pasal 63 ayat (2) huruf (n) ditegaskan
pula bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah
Provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Sedangkan Pasal 63 ayat
(3) huruf (k) menyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan
mengenai tatacara pengakuan dan hak ulayat masyarakat hukum yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tingkat Kabupaten/Kota.
Pasal 64 menyatakan tugas dan wewenang pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan atau
dikoordinasikan oleh Menteri. Dengan demikian ketentuan Pasal 63 dan 64 memberi
kewenangan yang cukup besar kepada Menteri Lingkungan Hidup dalam rangka
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat walaupun hanya terbatas dalam kaitan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Secara umum penetapan pengakuan keberadaan MHA,
kearifan lokal dan hak terkait PPLH di daerah masih
sangat rendah. Hanya terdapat 11 peraturan daerah atau keputusan penetapan
pengakuan, itu pun umumnya bersifat pengaturan umum. Berikut beberapa peraturan
dan keputusan di daerah dalam kaitan dengan penetapan pengakuan keberadaan MHA,
kearifan lokal dan hak terkait dengan PPLH.
1. Perda
Kab. Lebak No. 32/2001
tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
yang mengakui keberadaan Orang
Baduy dan hak ulayatnya
2. Perda Kab. Nunukan No. 03/2004 ttg Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat
3. Perda Kab. Kampar No. 12/ 1999 ttg Hak Ulayat
4. Perda Khusus Prov. Papua No. 23/ 2008 ttg Hak
Ulayat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masy Hukum Adat atas Tanah
5. Perda Prov. Sumbar No. 16/ 2008 ttg Hak Ulayat dan
Pemanfaatannya
6. Perda Prov. Kalteng No. 14/1998 ttg Kedamangan
7. Perda Prov. Kalteng No. 16/ 2008 tentang
Kelembagaan Adat Dayak Kalteng
8. Pergub Kalteng No. 13/2009 tentang Tanah Adat
9. Perda Kota Ternate No. 13/ 2009 ttg Perlindungan
Hak Adat dan Budaya Masy Adat Kesultanan Ternate
10. SK Bupati Luwu Utara No. 300/ 2004 ttg Pengakuan
Keberadaan MHA Seko
11. Keputusan
Gubernur Riau no: Kpts.468/IX/2006 tentang Penunjukan Kelompok Hutan Adat Buluh Cina di
Kab Kampar Provinsi Riau Seluas 1000 ha sebagai Kawasan Taman Wisata Alam
Komitmen yang rendah dari pemangku kepentingan,
keterbatasan sumber daya dan tidak tersedianya data dan informasi tentang
komunitas MHA di daerah menyebabkan rendahnya pengakuan tersebut. Pemerintah
dalam hal ini KLH akan melakukan fasilitasi dan pendampingan untuk mempercepat
proses penetapan pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak terkait
dengan PPLH. Lingkup pendampingan terdiri dari: inventarisasi, penyediaan data
profil komunitas MHA, pelaksanaan
pertemuan koordinasi untuk membangun komitmen pemangku kepentingan, fasilitasi
penyusunan draft Rancangan Perda, fasilitasi rapat pembahasan draft Raperda.
Dasar Hukum Pengakuan Keberadaan dan Hak MHA
DASAR HUKUM
PENGAKUAN
KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT,
KEARIFAN LOKAL DAN
HAK MHA TERKAIT PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
S
|
esungguhnya
perhatian terhadap pentingnya pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal dan hak MHA sudah banyak diatur dalam berbagai konvensi
internasional dan peraturan-perundangan nasional. Selain tertuang dalam UUD
1945 dan ketetapan MPR, juga berbagai undang-undang seperti tertuang dalam
uraian berikut.
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, juga ditegaskan pada Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
b.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Pasal 3 menentukan bahwa pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
c.
Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam
undang-undang ini, peran pemerintah sangat besar, dalam kegiatan-kegiatan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem. Dengan besarnya peran
pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat hukum adat melakukan kegiatan
konservasi sumberdaya alam hampir tidak ada. Undang-Undang ini tidak
menyebutkan sedikit pun pengaturan tentang masyarakat hukum adat, meskipun
mayarakat hukum adat di berbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman
konservasi sumberdaya alam.
d.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Undang-Undang ini secara tegas menyatakan
dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa: ”Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.”
e.
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Penjelasan Pasal 67 ayat (1) di atas
menyatakan bahwa sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika
menurut kenyataannya memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1)
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechsgemeenschap).
2)
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya.
3)
ada wilayah hukum adat yang jelas.
4)
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat yang masih ditaati.
5)
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di
wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
f.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua
Pasal 64 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah
Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara
terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumberdaya alam hayati,
sumberdaya alam non hayati, sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta
perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat.
g.
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 51 ayat (1) undang-undang ini
menyebutkan bahwa salah satu kategori pemohon adalah “kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
h.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air
Undang-undang ini tidak menyebut secara
tegas istilah “masyarakat hukum adat”.
i.
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Pasal 9 ayat (2) undang-undang ini
menyatakan bahwa “Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada.
j.
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 jo Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan
Pasal 6 undang-undang ini menyatakan bahwa
pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan
harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran
serta masyarakat.
k.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 2 ayat (9) undang-undang ini menegaskankan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
l.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Undang-undang yang meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ini antara lain mengakui
secara umum hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, yaitu hak untuk
tidak didiskriminasi. sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3. Hak atas kebudayaan dan hak untuk
berpartisipasi diatur dalam Pasal 15, hak atas lingkungan yang sehat diatur
dalam Pasal 12.
m.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil
dan Politik
Undang-undang yang meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik ini secara tegas mengakui hak untuk
tidak didiskriminasi bagi setiap orang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3. Hak untuk menikmati seluruh hak, termasuk hak atas tanah dan
sumberdaya alam diatur dalam Pasal 26, hak untuk menikmati cara hidup yang khas
yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan sumberdaya alam diatur dalam Pasal
27, serta hak untuk berpartisipasi yang diatur dalam Pasal 25.
n.
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Pada undang-undang
ini sebenarnya tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur mengenai
masyarakat hukum adat. Namun dapat ditemukan beberapa pasal yang secara
potensial bisa ditafsirkan memberikan ruang bagi masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat.
o.
Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-undang ini dengan jelas mengakui
eksistensi masyarakat adat dan melindungi hak-hak mereka sebagaimana diatur
dalam Pasal 61, bahkan kepada mereka diberikan hak pengusahaan perairan pesisir
yang diatur dalam Pasal 18.
p.
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Pada prinsipnya undang-undang ini mengakui
bahwa setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk
mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis (Pasal
9).
q.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-undang ini memberikan hak kepada
masyarakat termasuk masyarakat hukum adat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (1).
r.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 63 ayat (1) huruf t, Pasal 63 ayat
(2) huruf n, dan Pasal 63 ayat (3) huruf k undang-undang ini menentukan bahwa
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bertugas dan berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Selain itu, bahwa salah satu asa PPLH adalah kearifan
local.
s.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya
UU
NO. 11 tahun 2013 tentang Pengesahan Protocol Nagoya.
Kebijakan ini membuka
peluang untuk pengaturan pemanfaatan pengetahuan tradisional yang
dimiliki MHA secara
adil dan seimbang. Namun
berbagai isu penting
diperkirakan akan mewarnai implementasi Protokol Nagoya, seperti: (1) Kapasitas
dalam melaksanakan persetujuan
atas dasar informasi awal tanpa paksaan dan kesepakatan bersama; (2) Kesulitan
yang dihadapi menentukan kelompok masyarakat mana yang paling berhak untuk
menerima pembagian keuntungan dari pemanfaatan pengetahuan
tradisional;
(3) Penetapan kelembagaan adat representasi
masyarakat hukum adat.
t.
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Melalui UU Desa
dimungkinkan perubahan: Desa menjadi Desa Adat, Kelurahan menjadi Desa,
Kelurahan menjadi Desa Adat, Desa Adat menjadi Kelurahan. Desa/Desa Adat dapat
berubah status, digabung atau dihapus,
berdasarkan prakarsa masyarakat dan ditetapkan dalam Perda (Provinsi
atau Kabupaten/Kota) yang disertai peta wilayah.
u. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 atas uji materi UU No. 41/2009 tentang
Kehutanan
Keluarnya Putusan MK
Nomor 35/PUU-X/2012 atas uji materi UU No. 41/2009 tentang Kehutanan, dengan amar putusan antara
lain bhw Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat”, memberi implikasi luas dalam upaya pengakuan keberadaan, kearifan lokal
dan hak MHA. Ada berbagai permasalahan yang menghambat penerapan keputusan
di atas, antara lain ketidak tersediaan data dasar keberadaan MHA dan kearifan
lokal.
v. PERATURAN BERSAMA
MENDAGRI, MENHUT, MENPU, KEPALA BPN No: 79 Tahun 2014; PB.3/Menhut-11/2014;
17/PRT/M/2014; 8/skb/x/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yg
Berada di Dalam kawasan Hutan, tanggal 17 Oktober 2014
w. Permendagri No. 52/ 2014 Ttg Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA
x. Permen ATR/ Kepala BPN No 9/2015 Ttg Tata
Cara Peentapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang
Berada Dalam Kawasan Tertentu
y. Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.62/Menhut-Ii/2013 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-Ii/2012
Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan
z. Permen
Lhk No. P32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan
Hak
aa. Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Desa Pakraman.
Desa pakraman
adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali.
bb. Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
Provinsi Bali Tahun 2005-2025 dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun
2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali Tahun 2009-2029.
Kedua peraturan
daerah ini memuat kebijakan pemerintah daerah Provinsi Bali dalam memproteksi
kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di provinsi Bali yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009.
cc Pengaturan Internasional:
a)
ILO Convention No. 107 year 1957 Concerning
the Protection and Integration of Indigenous and Other Tribal and Semi Tribal
Population in Independent Countries
(Konvensi
Organisasi Perburuhan Dunia Nomor 107 berkenaan dengan Perlindungan dan
Integrasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Kesukuan dan Semi Kesukuan di
Negara-negara Merdeka).
Konvensi yang disetujui tahun 1957
ini mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak mereka yang sederajat
dengan hak-hak masyarakat lainnya yang lebih besar.
b)
Convention No. 169 year 1989 Concerning
Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Konvensi
Organisasi Perburuhan Dunia No.169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan
Suku-suku di Negara-negara Merdeka).
Berbeda dengan Konvensi ILO 107
yang menggunakan pendekatan asimilasi dan integrasi, maka Konvensi 169 yang
mulai berlaku pada tanggal 5 September 1991 ini lebih mengutamakan prinsip
‘pemeliharaan/pelestarian’ (preservation)
dan ‘partisipasi’ masyarakat hukum adat dalam kebijakan-kebijakan yang
mempengaruhi mereka. Konvensi ini mengakui masyarakat hukum adat sebagai
kelompok yang merupakan pemilik atau subjek dari hak-hak yang harus dilindungi
oleh Konvensi.
c)
Resolution of World Conservation Strategy;
“Caring for the Eart” (Keputusan Strategi Konservasi Dunia; “Menjaga Bumi”) tahun 1991
Pada pertemuan ini secara eksplisit
menyatakan dukungannya pada peran khusus dan penting dari masyarakat hukum adat
sedunia dalam upaya-upaya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.
d)
Rio Declaration (Deklarasi Rio)
tahun 1992
Deklarasi yang disahkan dalam
Konperensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UNCED), Juni 1992, di
Rio de Janeiro, Brazilia, dikenal juga dengan nama “Piagam Bumi” (Earth Charter) ini, secara eksplisit
mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat hukum adat dalam semua program
pelestarian lingkungan hidup di seluruh dunia, terutama dalam Pasal 22 (Principle 22).
e)
United Nations Declaration on the Rights
of Indigenous Peoples (Deklarasi PBB tentang Hak Hak Masyarakat
Adat tahun) tahun 2007.
Deklarasi ini menegaskan bahwa
masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif, yang terpenting diantaranya adalah
hak untuk menentukan nasib sendiri; hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya
alam; hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual; hak atas free, prior and informed consent (FPIC);
serta hak untuk menentukan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi
mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)