Selasa, 25 Agustus 2015

Penguatan Kapasitas Masyarakat Hukum Adat



Pendampingan Pengakuan Keberadaan MHA, Kearifan Lokal dan Hak terkait PPLH

Perhatian terhadap pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) sudah cukup baik. Setidaknya sudah dimuat dalam UUD 1945, Ketetapan MPR, dan berbagai perarturan perundangan.
Perkembangan yang terjadi pada tahun 1999, mempunyai dampak penting terhadap perhatian mengenai keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 dan Undang Undang No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999,  cukup memberikan landasan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hal ulayatnya.
Perkembangan berikutnya yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2000 ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen terhadap Undang Undang Dasar 1945 dan berhasil memasukan masalah ”Masyarakat Hukum Adat” ke dalam konstitusi Pasal 18B ayat (2) sebagai pasal baru dalam konstitusi berbunyi:
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang Undang”.
Selanjutnya hal itu diatur pula dalam Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi:
”Identitas budaya dan Hak Masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Pasal 18B ayat (2) termasuk dalam BAB tentang Hak-hak Asasi Manusia, sehingga dengan demikian bilamana kita membaca bunyi Pasal 18B ayat (2) bahwa persoalan tentang masyarakat hukum adat dan akan diatur secara khusus dengan satu undang undang atau setidak-tidaknya akan diatur dalam Undang Undang Pemerintah Daerah. Secara lokal diberbagai daerah telah ditetapkan berbagai Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat dan Hak Tradisionalnya ini.
Undang Undang terakhir yang mengatur tentang Masyarakat Hukum Adat adalah Undang Undang No. 32 Tahun 2009 (LN Tahun 2009 No. 149) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ditetapkan pada tanggal 3 Oktober 2009. Pasal 63 Undang Undang No. 32 Tahun 2009 mengatur tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 63 ayat (1) huruf (t) dikatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan  Lingkungan Hidup pemerintah bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tatacara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kemudian dalam Pasal 63 ayat (2) huruf (n) ditegaskan pula bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Sedangkan Pasal 63 ayat (3) huruf (k) menyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan mengenai tatacara pengakuan dan hak ulayat masyarakat hukum yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tingkat Kabupaten/Kota.
Pasal 64 menyatakan tugas dan wewenang pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan atau dikoordinasikan oleh Menteri. Dengan demikian ketentuan Pasal 63 dan 64 memberi kewenangan yang cukup besar kepada Menteri Lingkungan Hidup dalam rangka pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat walaupun hanya terbatas dalam kaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Secara umum penetapan pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak terkait PPLH di daerah  masih sangat rendah. Hanya terdapat 11 peraturan daerah atau keputusan penetapan pengakuan, itu pun umumnya bersifat pengaturan umum. Berikut beberapa peraturan dan keputusan di daerah dalam kaitan dengan penetapan pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak terkait dengan PPLH.
1.     Perda Kab. Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy  yang  mengakui keberadaan Orang Baduy dan hak ulayatnya
2.     Perda Kab. Nunukan No. 03/2004 ttg Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
3.     Perda Kab. Kampar No. 12/ 1999 ttg Hak Ulayat
4.     Perda Khusus Prov. Papua No. 23/ 2008 ttg Hak Ulayat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masy Hukum Adat atas Tanah
5.     Perda Prov. Sumbar No. 16/ 2008 ttg Hak Ulayat dan Pemanfaatannya
6.     Perda Prov. Kalteng No. 14/1998 ttg Kedamangan
7.     Perda Prov. Kalteng No. 16/ 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalteng
8.     Pergub Kalteng No. 13/2009 tentang Tanah Adat
9.     Perda Kota Ternate No. 13/ 2009 ttg Perlindungan Hak Adat dan Budaya Masy Adat Kesultanan Ternate
10.  SK Bupati Luwu Utara No. 300/ 2004 ttg Pengakuan Keberadaan MHA Seko
11.  Keputusan Gubernur Riau no: Kpts.468/IX/2006 tentang Penunjukan Kelompok Hutan Adat Buluh Cina di Kab Kampar Provinsi Riau Seluas 1000 ha sebagai Kawasan Taman Wisata Alam
Komitmen yang rendah dari pemangku kepentingan, keterbatasan sumber daya dan tidak tersedianya data dan informasi tentang komunitas MHA di daerah menyebabkan rendahnya pengakuan tersebut. Pemerintah dalam hal ini KLH akan melakukan fasilitasi dan pendampingan untuk mempercepat proses penetapan pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak terkait dengan PPLH. Lingkup pendampingan terdiri dari: inventarisasi, penyediaan data profil komunitas MHA, pelaksanaan  pertemuan koordinasi untuk membangun komitmen pemangku kepentingan, fasilitasi penyusunan draft Rancangan Perda, fasilitasi rapat pembahasan draft Raperda.

Dasar Hukum Pengakuan Keberadaan dan Hak MHA



DASAR HUKUM
PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT,
KEARIFAN LOKAL DAN HAK MHA TERKAIT PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


S
esungguhnya perhatian terhadap pentingnya pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak MHA sudah banyak diatur dalam berbagai konvensi internasional dan peraturan-perundangan nasional. Selain tertuang dalam UUD 1945 dan ketetapan MPR, juga berbagai undang-undang seperti tertuang dalam uraian berikut.

     a.  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, juga ditegaskan pada Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

b.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Pasal 3 menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

c.     Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam undang-undang ini, peran pemerintah sangat besar, dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem. Dengan besarnya peran pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat hukum adat melakukan kegiatan konservasi sumberdaya alam hampir tidak ada. Undang-Undang ini tidak menyebutkan sedikit pun pengaturan tentang masyarakat hukum adat, meskipun mayarakat hukum adat di berbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumberdaya alam.
d.     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Undang-Undang ini secara tegas menyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa: ”Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.”

e.     Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Penjelasan Pasal 67 ayat (1) di atas menyatakan bahwa sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1)   masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap).
2)   ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
3)   ada wilayah hukum adat yang jelas.
4)   ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati.
5)  masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

f.      Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua
Pasal 64 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati, sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat.

g.     Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 51 ayat (1) undang-undang ini menyebutkan bahwa salah satu kategori pemohon adalah “kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

h.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air
Undang-undang ini tidak menyebut secara tegas istilah “masyarakat hukum adat”.

i.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Pasal 9 ayat (2) undang-undang ini menyatakan bahwa “Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada.

j.      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan
Pasal 6 undang-undang ini menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.  

k.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 2 ayat (9) undang-undang ini menegaskankan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

l.      Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Undang-undang yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ini antara lain mengakui secara umum hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, yaitu hak untuk tidak didiskriminasi. sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3. Hak atas kebudayaan dan hak untuk berpartisipasi diatur dalam Pasal 15, hak atas lingkungan yang sehat diatur dalam Pasal 12.

m.   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik
Undang-undang yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik ini secara tegas mengakui hak untuk tidak didiskriminasi bagi setiap orang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Hak untuk menikmati seluruh hak, termasuk hak atas tanah dan sumberdaya alam diatur dalam Pasal 26, hak untuk menikmati cara hidup yang khas yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan sumberdaya alam diatur dalam Pasal 27, serta hak untuk berpartisipasi yang diatur dalam Pasal 25.

n.   Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Pada undang-undang ini sebenarnya tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur mengenai masyarakat hukum adat. Namun dapat ditemukan beberapa pasal yang secara potensial bisa ditafsirkan memberikan ruang bagi masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat.

o.   Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-undang ini dengan jelas mengakui eksistensi masyarakat adat dan melindungi hak-hak mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 61, bahkan kepada mereka diberikan hak pengusahaan perairan pesisir yang diatur dalam Pasal 18.

p.     Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Pada prinsipnya undang-undang ini mengakui bahwa setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis (Pasal 9).

q.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-undang ini memberikan hak kepada masyarakat termasuk masyarakat hukum adat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (1).

r.     Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 63 ayat (1) huruf t, Pasal 63 ayat (2) huruf n, dan Pasal 63 ayat (3) huruf k undang-undang ini menentukan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertugas dan berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, bahwa salah satu asa PPLH adalah kearifan local.

s.      Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya
UU NO. 11 tahun 2013 tentang Pengesahan Protocol Nagoya. Kebijakan ini membuka peluang untuk pengaturan pemanfaatan pengetahuan tradisional yang dimiliki MHA secara adil dan  seimbang. Namun berbagai isu penting diperkirakan akan mewarnai implementasi Protokol Nagoya, seperti: (1) Kapasitas dalam melaksanakan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dan kesepakatan bersama; (2) Kesulitan yang dihadapi menentukan kelompok masyarakat mana yang paling berhak untuk menerima pembagian keuntungan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional; (3) Penetapan kelembagaan adat representasi masyarakat hukum adat.

t.      Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Melalui UU Desa dimungkinkan perubahan: Desa menjadi Desa Adat, Kelurahan menjadi Desa, Kelurahan menjadi Desa Adat, Desa Adat menjadi Kelurahan. Desa/Desa Adat dapat berubah status, digabung atau dihapus,  berdasarkan prakarsa masyarakat dan ditetapkan dalam Perda (Provinsi atau Kabupaten/Kota) yang disertai peta wilayah.

u.     Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 atas uji materi UU No. 41/2009 tentang Kehutanan
Keluarnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 atas uji materi UU No. 41/2009 tentang Kehutanan, dengan amar putusan antara lain bhw Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, memberi implikasi luas dalam upaya pengakuan keberadaan, kearifan lokal dan hak MHA. Ada berbagai permasalahan yang menghambat penerapan keputusan di atas, antara lain ketidak tersediaan data dasar keberadaan MHA dan kearifan lokal.
v.     PERATURAN BERSAMA MENDAGRI, MENHUT, MENPU, KEPALA BPN No: 79 Tahun 2014; PB.3/Menhut-11/2014; 17/PRT/M/2014; 8/skb/x/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yg Berada di Dalam kawasan Hutan, tanggal 17 Oktober 2014
w.    Permendagri No. 52/ 2014 Ttg Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA
x.     Permen ATR/ Kepala BPN No 9/2015 Ttg Tata Cara Peentapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu
y.  Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia  Nomor : P.62/Menhut-Ii/2013  Tentang  Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-Ii/2012 Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan
z.  Permen Lhk No. P32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan Hak  
aa.  Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Desa Pakraman.
Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali.
bb. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun 2005-2025 dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali Tahun 2009-2029.
Kedua peraturan daerah ini memuat kebijakan pemerintah daerah Provinsi Bali dalam memproteksi kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di provinsi Bali yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
cc  Pengaturan Internasional:
a)    ILO Convention No. 107 year 1957 Concerning the Protection and Integration of Indigenous and Other Tribal and Semi Tribal Population in Independent Countries (Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia Nomor 107 berkenaan dengan Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Kesukuan dan Semi Kesukuan di Negara-negara Merdeka).
Konvensi yang disetujui tahun 1957 ini mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak mereka yang sederajat dengan hak-hak masyarakat lainnya yang lebih besar.
b)    Convention No. 169 year 1989 Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia No.169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Suku-suku di Negara-negara Merdeka).
Berbeda dengan Konvensi ILO 107 yang menggunakan pendekatan asimilasi dan integrasi, maka Konvensi 169 yang mulai berlaku pada tanggal 5 September 1991 ini lebih mengutamakan prinsip ‘pemeliharaan/pelestarian’ (preservation) dan ‘partisipasi’ masyarakat hukum adat dalam kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi mereka. Konvensi ini mengakui masyarakat hukum adat sebagai kelompok yang merupakan pemilik atau subjek dari hak-hak yang harus dilindungi oleh Konvensi.
c)     Resolution of World Conservation Strategy; “Caring for the Eart” (Keputusan Strategi Konservasi Dunia; “Menjaga Bumi”) tahun 1991
Pada pertemuan ini secara eksplisit menyatakan dukungannya pada peran khusus dan penting dari masyarakat hukum adat sedunia dalam upaya-upaya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.
d)    Rio Declaration (Deklarasi Rio) tahun 1992
Deklarasi yang disahkan dalam Konperensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UNCED), Juni 1992, di Rio de Janeiro, Brazilia, dikenal juga dengan nama “Piagam Bumi” (Earth Charter) ini, secara eksplisit mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat hukum adat dalam semua program pelestarian lingkungan hidup di seluruh dunia, terutama dalam Pasal 22 (Principle 22).
e)     United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi PBB tentang Hak Hak Masyarakat Adat tahun) tahun 2007.
Deklarasi ini menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif, yang terpenting diantaranya adalah hak untuk menentukan nasib sendiri; hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam; hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual; hak atas free, prior and informed consent (FPIC); serta hak untuk menentukan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi mereka.