Konsep dan Kriteria Masyarakat Hukum
Adat
Sebagaimana diketahui masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
majemuk dengan latar belakang kebudayaan yang beragam. Keragaman kebudayaan itu
dimungkinkan karena perbedaan strategi adaptasi yang diterapkan oleh
masing-masing kelompok masyarakat yang mendiami lingkungan permukiman dengan
karakteristik yang berbeda dengan yang lain. Masing-masing kelompok masyarakat
mengembangkan strategi adaptasi yang khas terhadap lingkungannya yang khas
pula.
Bangsa Indonesia yang terdiri atas suku-suku bangsa,
masing-masing mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif
mereka terhadap lingkungan masing-masing. Aneka ragam kebudayaan yang
berkembang di Kepulauan Nusantara ini dihayati oleh pendukungnya sebagai acuan
dalam bersikap dan menentukan tindakan pengelolaan lingkungan. Kebudayaan suku bangsa itu juga berfungsi
sebagai ciri pengenal yang membedakan kelompoknya dari kelompok suku bangsa atau komunitas lain.
Sejalan dengan kategorisasi
masyarakat dalam buku ini, Geertz (1963) mengklasifikasikan kebudayaan suku
bangsa di Indonesia ke dalam tiga
kategori, yaitu kebudayaan masyarakat peladang atau pemburu yang sering pindah
tempat, kebudayaan pesisir yang diwarnai kebudayaan Islam, dan kebudayaan masyarakat petani berpengairan (beririgasi).
Pada umumnya kebudayaan masyarakat peladang atau pemburu berkembang di atas
sistem pencaharian perladangan atau
penanaman padi ladang, sagu, jagung maupun ubi-ubian yang merupakan perwujudan
kecerdikan masyarakat menyesuaikan diri dengan ekosistemnya.
Kategori kebudayaan pesisir dan
pantai ditandai dengan pengaruh Islam yang kuat serta kegiatan dagang dan
nelayan yang menonjol. Kebudayaan tersebut tersebar sepanjang pantai Sumatera
dan Kalimantan yang didukung oleh orang-orang Melayu dan Makassar. Karena kegiatan bertumpu pada dagang dan
nelayan, mereka menduduki pusat-pusat
perdagangan sepanjang pantai bersama-sama
dengan para pedagang yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Mereka mengembangkan kebudayaan yang
berorientasi pada perdagangan dan mengutamakan pendidikan agama dan hukum
Islam, serta mengembangkan bentuk tari, musik dan kesusasteraan sebagai unsur
pemersatu utamanya. Beberapa pusat
perdagangan di pulau Jawa berkembang
menjadi pusat-pusat kekuasaan dengan sistem pemerintahan yang relatif modern,
ditunjang pula oleh meningkatnya kemajemukan penduduk yang berasal dari
berbagai suku bangsa, maupun mereka yang mempunyai lapangan keahlian khusus.
Adapun kebudayaan masyarakat petani
berpengairan ialah kebudayaan yang
berkembang di Pulau Jawa dan Bali.
Kebudayaan pertanian beririgasi berkembang atas dasar pertanian yang
sifatnya padat karya di daerah yang paling padat penduduknya. Hildred Geertz menambahkan bahwa kebudayaan
tersebut sangat dipengaruhi oleh Hinduisme, di mana masyarakatnya sangat kuat
berorientasi pada status, mengembangkan kesenian yang sangat tinggi nilainya
terutama di pusat-pusat kekuasaan (kraton) yang sekaligus sebagai pusat
peradaban pada waktu itu. Selanjutnya kebudayaan pertanian di pulau Jawa mulai mengalami
pergeseran, terutama sejak masuknya pengaruh kebudayaan Islam dan kemudian
disusul dengan perkembangan yang terjadi dalam masa penjajahan Belanda.
B.Z.N. ter Haar (1946)
mengelompokkan lingkungan kebudayaan di Indonesia ke dalam 19 daerah hukum adat (rechtskringen).
Pembagian wilayah kebudayaan itu membagi
habis satu wilayah kebudayaan yang lebih luas ke dalam blok-nlok wilayah buatan
yang lebih kecil atas dasar persamaan organisasi kemasyarakatan, khususnya
hukum adat dan bahasa.
Dalam Sensus Penduduk tahun 1930,
pihak pemerintah Belanda mengkategorikan penduduk Indonesia menggunakan ukuran
bahasa yang dipergunakan sehari-hari,
adat kebiasaan, di samping batas wilayah
persebaran serta golongan ras.
Setidak-tidaknya dari hasil Sensus itu memperlihatkan adanya perbedaan bahasa kesukuan yang
jumlahnya lebih dari 250 bahasa sehari-hari (Josselin de Jong, 1935). Jika
setiap suku bangsa dicirikan oleh bahasa etnik yang mereka pakai, maka para
ahli linguistik mencatat lebih dari delapan ratus bahasa etnik di Indonesia
(Grimes, 1984). Bahkan penekanan ciri kesuku-bangsaan yang bahasa etnik dapat
menyajikan sekitar 1128 suku bangsa
(Sensus 2010).
Menurut
Van Vollen Hoven terdapat 19 wilayah hukum adat di Indonesia, yaitu: Aceh,
Gayo-Alas-Batak dan Nias, Minangkabau- Mentawai, Sumatera Selatan-Enggano,
Melayu, Bangka-Belitung, Kalimantan, Minahasa, Gorontalo,
Toraja, Sulawesi Selatan, Kepulauan Ternate,Maluku,
Irian Barat, Kepulauan Timor, Bali- Lombok,Jawa Tengah- Jawa Timur-
Madura,Solo-Yogyakarta, dan Jawa Barat-Jakarta.
Sesuai Pasal 18 b (2) UUD 1945, bahwa negara mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, dengan batasan :
· sepanjang masih hidup;
· sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
· diatur dengan
undang-undang.
Dari persfektif
perlindungan dan pengelolaan lingkungan (PPLH), bahwa komunitas masyarakat hukum
adat dilihat dalam satu satuan sosial yang menempati wilayah geografis
tertentu. Sehingga diperkirakan ribuan komunitas tergolong komunitas MHA,
sedangkan ciri kesuku-bangsaan merupakan salah satu identitas kelompok
tersebut.
Pendefenisisan dan
kriteria yang dibangun dalam konteks PPLH, yaitu dalam kaitannya dengan
pelestarian fungsi lingkungan hidup, pencegahan kerusakan dan pengendalian
pencemaran. Pelestarian fungsi LH termasuk dalam upaya pelestarian sumber daya
genetika (SDG). Dengan demikian peran MHA dalam PPLH dapat dilihat dari peran
seluruh anggota komunitas termasuk
perangkat adat dalam pengawasan lingkungan, pengembangan pengetahuan
tradisional terkait sumber daya genetik, kearifan lokal dalam pelestarian
fungsi lingkungan.
Sesuai UU No 32 Tahun 2009
tentang PPLH, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara
turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada
asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan
hukum. Sedangkan kearifan lokal adalah kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Berdasarkan defenisi di
atas, kriteria masyarakat hukum adat adalah:
a. Kelompok masyarakat yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu
b. Adanya
ikatan pada asal usul leluhur,
c. Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan
hidup, dan
d. Adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Adanya kelompok masyarakat yang secara turun-temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu ditandai dengan adanya satuan sosial
tempatan atau komunitas yang menempati wilayah
tertentu secara turun-temurun,
menempati wilayah territorial yang sama
(territorial based relationship), setidaknya terbentuk jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sub kriteria
lain adalah masih berbentuk masyarakat
paguyuban di mana kehidupan gotong-royong masih
kuat, memiliki simbol identitas budaya yang sama, memiliki identitas budaya yang sama.
Kriteria turun-temurun bermukim di wilayah tertentu dapat diketahui
dari menempati wilayah tersebut dalam beberapa generasi, anggotanya memiliki Ikatan dengan kewilayahan dan keturunan,
berbentuk paguyuban (rechsgemeenschap), memiliki
identitas budaya yang sama, identitas kependudukan di wilayah di mana ia
berdomisili. Identitas budaya yang paling mudah diketahui adalah penggunaan
Bahasa sukubangsa.
Adanya asal-usul
ditandai dengan kesamaan dan hubungan kekerabatan, memiliki ikatan keturunan
dan teritorial, adanya silsilah keturunan atau karena perkawinaan adanya
hubungan genealogis/ keturunan
(genealogical based relationship),
dan adanya pengakuan komunitas
berdekatan lainnya.
Adanya ikatan
asal-usul ditandai dengan adanya sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang
mentradisi, memiliki silsilah kekerabatan, adanya klasifikasi/kategorisasi
lingkungan, adanya sistem kalender pengelolaan sumber daya alam, adanya wilayah
kearifan lokal. Wilayah kearifan lokal bercirikan wilayah tertentu dikelola
bersama, berdasarkan
sejarah keturunan dan hubungan kerabat, menguasai suatu kawasan, kawasan yang
merupakan sumber mata pencaharian, dan adanya
batas wilayah yang jelas yang sudah berlaku turun-temurun dan diakui sesuai
dengan hukum adat.
Adanya hubungan
yang kuat dengan lingkungan hidup ditandai dengan fungsi
lingkungan hidup untuk kelangsungan hidup masyarakat hukum adat, baik sebagai
sumber pemenuhan kebutuhan dasar
biologis, fungsi perlindungan, integrasi sosial,
pengembangan keturunan, dan aktualisasi diri.
Adanya sistem
nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum
ditandai dengan: adanya nilai, norma, dan pengetahuan lokal dalam pelestarian
fungsi lingkungan hidup dan sumber daya geentik;
adanya wilayah kearifan lokal yang terjaga
kelestariannya dan dikelola secara komunal; adanya hukum adat yang masih berfungsi;
adanya sidang peradilan adat; adanya sistem kelembagaan adat yang
masih berfungsi dan berperan. Nilai-nilai kearifan tersebut adalah yang mengutamakan perlunya kebersamaan/
kekeluargaan, harmonisasi, keadilan, keberlanjutan, dan produktifitas.
Nilai-nil;ai tersebut melembaga dalam pranata hukum, kepemimpinan, pengambilan
keputusan, ekonomi, pengetahuan tradisional, sistem pengendalian sosial.
Pranata hukum ditandai dengan adanya nilai dan norma
yang mengatur berbagai aspek atau sendi kehidupan masyarakat, adanya pengurus dan peran
pemangku adat yang masih berfungsi atau diakui otoritasnya, adanya aktifitas/
sidang adat.
Kelembagaan adat
terdiri dari adanya hukum adat, adanya
pengurus dan struktur kelembagaan adat, adanya kedudukan dan peran
pemangku adat terutama dalam pengambilan keputusan, memiliki kekayaan bersama (materiil dan nilai-nilai berupa kearifan lokal), adanya lembaga kerapatan adat yang berfungsi
melaksanakan permusyawaratan.
Melindungi dan
mengelola lingkungan secara berkelanjutan ditandai dengan adanya pengetahuan
tentang sumber daya genetika, pengetahuan tentang konservasi/pengawetan,
penggunaan teknologi ramah lingkungan, orientasi pemanfaatan SDA untuk
pemenuhan kebutuhan subsistensi, adanya tradisi dan ritual pelestarian
lingkungan hidup, dan adanya wilayah kearifan lokal.
Sebenarnya berbagai
perundangan telah memuat kriteria masyarakat hukum adat. Berdasarkan UU No 41 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Kehutanan, bahwa kriteria masyarakat hukum adat adalah sebagai
berikut:
a.
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
b.
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya;
c.
ada wilayah hukum adat yang jelas;
d.
ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang
masih ditaati; dan
e.
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah
hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan Undang-Undang no. 5
tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Permen Agraria no 5/1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat:
- Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
- karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan
- terdapat sekelompok orang yang masih merasa terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari
- terdapat tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari
- terdapat tatanan hukum adata pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Berdasarkan
Undang-Undang No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, bahwa kriteria MHA adalah:
- masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeeenscha)
- ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat
- ada wilayah hukum adat yang jelas
- ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yg masih ditaati
- ada pengukuhan dengan peraturan daerah
Berdasarkan
Undang-Undang
no. 6 tahun 2014 tentang Desa, kriteria MHA adalah:
·
Kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang
bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional
·
Masyarakat yang
warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok
·
Pranata pemerintahan
adat
·
Harta kekayaan dan/
atau benda adat;
·
Perangkat norma hukum
adat
· Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku
·
Substansi hak
tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang
bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak
asai manusia
·
Tidak mengancam
kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/ atau
· Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Ter Haar Bzn dalam bukunya yang berjudul
Beginselen en Stelsel van het Adatrecht yang dikutip oleh Soejono
Soekanto dalam bukunya Hukum Adat Indonesia, dan telah pula dijadikan sebagai
Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor31/PUU-V/2007, disebutkan
bahwa ciri-ciri dari kesatuan masyarakat hukum adat sebagai berikut:
· adanya
kelompok-kelompok teratur;
· menetap di suatu
daerah tertentu;
· mempunyai
pemerintahan sendiri;
·
memiliki
benda-benda materiil maupun immaterial.
Kriteria
yang dibangun merupakan alat untuk
mengenali suatu komunitas hokum adat. Kriteria bukan untuk meniadakan
keberadaan sutau komunitas hukum adat,
tetapi juga bukan membuat kelompok masyarakat hukum adat yang baru. Oleh
karena itu, identifikasi awal keberadaan suatu masyarakat hukum adat adalah
berawal dari pengakuan komunitas tersebut sebagai komunitas masyarakat hukum
adat (self identification) kemudian pengakuan pemerintah dalam bentuk Peraturan
Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar