Selasa, 25 Agustus 2015

Konsep dan Kriteria MHA



Konsep dan Kriteria Masyarakat Hukum Adat


Sebagaimana diketahui  masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dengan latar belakang kebudayaan yang beragam. Keragaman kebudayaan itu dimungkinkan karena perbedaan strategi adaptasi yang diterapkan oleh masing-masing kelompok masyarakat yang mendiami lingkungan permukiman dengan karakteristik yang berbeda dengan yang lain. Masing-masing kelompok masyarakat mengembangkan strategi adaptasi yang khas terhadap lingkungannya yang khas pula.
Bangsa Indonesia  yang terdiri atas suku-suku bangsa, masing-masing mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif mereka terhadap lingkungan masing-masing. Aneka ragam kebudayaan yang berkembang di Kepulauan Nusantara ini dihayati oleh pendukungnya sebagai acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan pengelolaan lingkungan.  Kebudayaan suku bangsa itu juga berfungsi sebagai ciri pengenal yang membedakan kelompoknya dari  kelompok suku bangsa  atau komunitas lain.
Sejalan dengan kategorisasi masyarakat dalam buku ini, Geertz (1963) mengklasifikasikan kebudayaan suku bangsa  di Indonesia ke dalam tiga kategori, yaitu kebudayaan masyarakat peladang atau pemburu yang sering pindah tempat, kebudayaan pesisir yang diwarnai kebudayaan Islam, dan kebudayaan  masyarakat petani berpengairan (beririgasi). Pada umumnya kebudayaan masyarakat peladang atau pemburu berkembang di atas sistem  pencaharian perladangan atau penanaman padi ladang, sagu, jagung maupun ubi-ubian yang merupakan perwujudan kecerdikan masyarakat menyesuaikan diri dengan ekosistemnya.
Kategori kebudayaan pesisir dan pantai ditandai dengan pengaruh Islam yang kuat serta kegiatan dagang dan nelayan yang menonjol. Kebudayaan tersebut tersebar sepanjang pantai Sumatera dan Kalimantan yang didukung oleh orang-orang Melayu dan Makassar.   Karena kegiatan bertumpu pada dagang dan nelayan,  mereka menduduki pusat-pusat perdagangan sepanjang pantai  bersama-sama dengan para pedagang yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia.  Mereka mengembangkan kebudayaan yang berorientasi pada perdagangan dan mengutamakan pendidikan agama dan hukum Islam, serta mengembangkan bentuk tari, musik dan kesusasteraan sebagai unsur pemersatu utamanya.   Beberapa pusat perdagangan di pulau Jawa  berkembang menjadi pusat-pusat kekuasaan dengan sistem pemerintahan yang relatif modern, ditunjang pula oleh meningkatnya kemajemukan penduduk yang berasal dari berbagai suku bangsa, maupun mereka yang mempunyai lapangan keahlian khusus.
Adapun kebudayaan masyarakat petani berpengairan  ialah kebudayaan yang berkem­bang di Pulau Jawa dan Bali.  Kebudayaan pertanian beririgasi berkembang atas dasar pertanian yang sifatnya padat karya di daerah yang paling padat penduduknya.  Hildred Geertz menambahkan bahwa kebudayaan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hinduisme, di mana masyarakatnya sangat kuat berorientasi pada status, mengembangkan kesenian yang sangat tinggi nilainya terutama di pusat-pusat kekuasaan (kraton) yang sekaligus sebagai pusat peradaban pada  waktu itu.  Selanjutnya kebudayaan  pertanian di pulau Jawa mulai mengalami pergeseran, terutama sejak masuknya pengaruh kebudayaan Islam dan kemudian disusul dengan perkembangan yang terjadi dalam masa penjajahan Belanda.
B.Z.N. ter Haar (1946) mengelompokkan lingkungan kebudayaan di Indonesia ke dalam  19 daerah hukum adat (rechtskringen). Pembagian wilayah  kebudayaan itu membagi habis satu wilayah kebudayaan yang lebih luas ke dalam blok-nlok wilayah buatan yang lebih kecil atas dasar persamaan organisasi kemasyarakatan, khususnya hukum adat dan bahasa.
Dalam Sensus Penduduk tahun 1930, pihak pemerintah Belanda mengkategorikan penduduk Indonesia menggunakan ukuran bahasa  yang dipergunakan sehari-hari, adat kebiasaan,  di samping batas wilayah persebaran serta golongan ras.  Setidak-tidaknya dari hasil Sensus itu memperlihatkan  adanya perbedaan bahasa kesukuan yang jumlahnya lebih dari 250 bahasa sehari-hari (Josselin de Jong, 1935). Jika setiap suku bangsa dicirikan oleh bahasa etnik yang mereka pakai, maka para ahli linguistik mencatat lebih dari delapan ratus bahasa etnik di Indonesia (Grimes, 1984). Bahkan penekanan ciri kesuku-bangsaan yang bahasa etnik dapat menyajikan  sekitar 1128 suku bangsa (Sensus 2010).
Menurut Van Vollen Hoven terdapat 19 wilayah hukum adat di Indonesia, yaitu: Aceh, Gayo-Alas-Batak dan Nias, Minangkabau- Mentawai, Sumatera Selatan-Enggano, Melayu, Bangka-Belitung, Kalimantan, Minahasa, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, Kepulauan Ternate,Maluku, Irian Barat, Kepulauan Timor, Bali- Lombok,Jawa Tengah- Jawa Timur- Madura,Solo-Yogyakarta, dan Jawa Barat-Jakarta.
Sesuai Pasal 18 b (2) UUD 1945, bahwa negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, dengan batasan :
·       sepanjang masih hidup;
·       sesuai dengan perkembangan masyarakat dan  prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
·       diatur dengan undang-undang.

Dari persfektif perlindungan dan pengelolaan lingkungan (PPLH), bahwa komunitas masyarakat hukum adat dilihat dalam satu satuan sosial yang menempati wilayah geografis tertentu. Sehingga diperkirakan ribuan komunitas tergolong komunitas MHA, sedangkan ciri kesuku-bangsaan merupakan salah satu identitas kelompok tersebut.
Pendefenisisan dan kriteria yang dibangun dalam konteks PPLH, yaitu dalam kaitannya dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran. Pelestarian fungsi LH termasuk dalam upaya pelestarian sumber daya genetika (SDG). Dengan demikian peran MHA dalam PPLH dapat dilihat dari peran seluruh anggota komunitas termasuk  perangkat adat dalam pengawasan lingkungan, pengembangan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik, kearifan lokal dalam pelestarian fungsi lingkungan.
Sesuai UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Sedangkan kearifan lokal adalah kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Berdasarkan defenisi di atas, kriteria masyarakat hukum adat adalah:
a.     Kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu
b.     Adanya  ikatan pada asal usul leluhur,
c.     Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, dan
d.     Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Adanya kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu   ditandai dengan adanya satuan sosial tempatan  atau komunitas yang menempati wilayah tertentu secara turun-temurun, menempati wilayah  territorial yang sama (territorial based relationship), setidaknya terbentuk jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sub kriteria lain adalah masih berbentuk masyarakat paguyuban di mana kehidupan gotong-royong masih kuat, memiliki simbol identitas budaya yang sama, memiliki identitas budaya yang sama.
Kriteria turun-temurun bermukim di wilayah tertentu dapat diketahui dari menempati wilayah tersebut dalam beberapa generasi, anggotanya memiliki Ikatan dengan kewilayahan dan keturunan, berbentuk paguyuban  (rechsgemeenschap), memiliki identitas budaya yang sama, identitas kependudukan di wilayah di mana ia berdomisili. Identitas budaya yang paling mudah diketahui adalah penggunaan Bahasa sukubangsa.
Adanya asal-usul ditandai dengan kesamaan dan hubungan kekerabatan, memiliki ikatan keturunan dan teritorial, adanya silsilah keturunan atau karena perkawinaan  adanya hubungan  genealogis/ keturunan (genealogical based relationship), dan adanya pengakuan komunitas berdekatan  lainnya.
Adanya ikatan asal-usul ditandai dengan adanya sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang mentradisi, memiliki silsilah kekerabatan, adanya klasifikasi/kategorisasi lingkungan, adanya sistem kalender pengelolaan sumber daya alam, adanya wilayah kearifan lokal. Wilayah kearifan lokal bercirikan wilayah tertentu dikelola bersama,   berdasarkan sejarah keturunan dan hubungan kerabat, menguasai suatu kawasan, kawasan yang merupakan sumber mata pencaharian,  dan adanya batas wilayah yang jelas yang sudah berlaku turun-temurun dan diakui sesuai dengan hukum adat.

Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup  ditandai dengan fungsi lingkungan hidup untuk kelangsungan hidup masyarakat hukum adat, baik sebagai sumber pemenuhan  kebutuhan dasar biologis, fungsi perlindungan, integrasi sosial, pengembangan keturunan, dan aktualisasi diri.

Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum ditandai dengan: adanya nilai, norma,  dan pengetahuan lokal dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya geentik; adanya wilayah kearifan lokal yang terjaga kelestariannya dan dikelola secara komunal; adanya hukum adat yang masih berfungsi; adanya  sidang peradilan  adat; adanya sistem kelembagaan adat yang masih berfungsi dan berperan. Nilai-nilai kearifan tersebut adalah yang mengutamakan perlunya kebersamaan/ kekeluargaan, harmonisasi, keadilan, keberlanjutan, dan produktifitas. Nilai-nil;ai tersebut melembaga dalam pranata hukum, kepemimpinan, pengambilan keputusan, ekonomi, pengetahuan tradisional, sistem pengendalian sosial.
Pranata hukum ditandai dengan adanya nilai dan norma yang mengatur berbagai aspek atau sendi kehidupan  masyarakat, adanya pengurus dan peran pemangku adat yang masih berfungsi atau diakui otoritasnya, adanya aktifitas/ sidang adat.
Kelembagaan adat terdiri dari adanya hukum adat, adanya   pengurus dan struktur kelembagaan adat, adanya kedudukan dan peran pemangku adat terutama dalam pengambilan keputusan, memiliki kekayaan bersama (materiil dan nilai-nilai berupa kearifan lokal), adanya lembaga kerapatan adat yang berfungsi melaksanakan permusyawaratan.
Melindungi dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan ditandai dengan adanya pengetahuan tentang sumber daya genetika, pengetahuan tentang konservasi/pengawetan, penggunaan teknologi ramah lingkungan, orientasi pemanfaatan SDA untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi, adanya tradisi dan ritual pelestarian lingkungan hidup, dan adanya wilayah kearifan lokal.
Sebenarnya berbagai perundangan telah memuat kriteria masyarakat hukum adat.  Berdasarkan UU No 41 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kehutanan, bahwa kriteria masyarakat hukum adat adalah sebagai berikut:
a.       masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
b.       ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c.       ada wilayah hukum adat yang jelas;
d.       ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e.       masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Berdasarkan Undang-Undang no. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Permen Agraria no 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat:
  • Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
  • karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan
  • terdapat sekelompok orang yang masih merasa terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari
  • terdapat tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari
  • terdapat tatanan hukum adata pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, bahwa kriteria MHA adalah:
  • masyarakat  masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeeenscha)
  • ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat
  • ada wilayah hukum adat yang jelas
  • ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yg masih ditaati
  • ada pengukuhan dengan peraturan daerah

Berdasarkan Undang-Undang no. 6 tahun 2014 tentang Desa, kriteria MHA adalah:
·       Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional
·       Masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok
·       Pranata pemerintahan adat
·       Harta kekayaan dan/ atau benda adat;
·       Perangkat norma hukum adat
·       Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku
·       Substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asai manusia
·       Tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/ atau
·       Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Ter Haar Bzn dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht yang dikutip oleh Soejono Soekanto dalam bukunya Hukum Adat Indonesia, dan telah pula dijadikan sebagai Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor31/PUU-V/2007, disebutkan bahwa ciri-ciri dari kesatuan masyarakat hukum adat sebagai berikut:
·       adanya kelompok-kelompok teratur;
·       menetap di suatu daerah tertentu;
·       mempunyai pemerintahan sendiri;
·       memiliki benda-benda materiil maupun immaterial.
Kriteria yang dibangun  merupakan alat untuk mengenali suatu komunitas hokum adat. Kriteria bukan untuk meniadakan keberadaan sutau komunitas hukum adat,  tetapi juga bukan membuat kelompok masyarakat hukum adat yang baru. Oleh karena itu, identifikasi awal keberadaan suatu masyarakat hukum adat adalah berawal dari pengakuan komunitas tersebut sebagai komunitas masyarakat hukum adat (self identification) kemudian pengakuan pemerintah dalam bentuk Peraturan Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar